Tuesday, March 23, 2010

Di Negeri Obama Pun Rokok Kian Diatur

Kompas.com — Selama beberapa hari pada awal Maret lalu, pemberitaan seputar aksi lokal sejumlah warga Atlanta, Amerika Serikat, yang menuntut agar pajak rokok dinaikkan, terselip di antara berbagai berita panas politik dan ekonomi negeri Paman Sam itu.

Di negara itu produsen rokok memang kian "terjepit" oleh tuntutan pajak, aturan registrasi, sampai dengan pembatasan tempat merokok. Hal ini sungguh berbeda dengan di Indonesia. Lantaran longgarnya kontrol, Indonesia menjadi tempat menyenangkan bagi produsen rokok internasional, termasuk produsen internasional yang berbasis di Amerika.

Sadar ada bahaya

Di sejumlah belahan dunia, termasuk Amerika Serikat, produk tembakau sudah lama disadari bahayanya bagi kesehatan masyarakat.

"Angka kematian akibat penyakit terkait merokok mencapai 443.000 per tahun di sini. Dengan berbagai cara, persentase orang dewasa yang merokok dapat diturunkan hingga sekarang sekitar 20 persen. Pada 1990, persentasenya jauh lebih tinggi. Belakangan, persentase itu stagnan. Diduga, krisis ekonomi ikut menurunkan anggaran kampanye antitembakau. Padahal, pihak industri budget iklannya kuat,” ujar Stephen Babb, analis kesehatan publik dari National Center for Chronic Disease Prevention and Health Promotion, Divisi Smoking and Health, Center for Disease Control and Prevention (CDC) Amerika. Hal itu diungkapkan Stephen di sela acara Crisis and Emergency Risk Communication Training di Atlanta, awal Maret lalu.

Stephen meyakini, kebijakan berbasis populasi tetap yang terbaik dalam mengontrol konsumsi produk tembakau. Salah satunya dengan penetapan kawasan dilarang rokok secara komprehensif, termasuk di tempat hiburan, seperti bar, kelab, dan restoran. Kebijakan itu setidaknya memberikan lingkungan yang mendukung bagi perokok yang berniat berhenti. Kebijakan tersebut juga merupakan langkah tercepat guna melindungi warga bukan perokok. Efek positif lainnya ialah mengubah perilaku dengan membuat kesan bahwa merokok sama sekali tidak keren.

Pakar komunikasi dari CDC Amerika, Barbara Reynolds, mengatakan, penegakan kawasan dilarang merokok komprehensif itu tidak mudah dan kerap muncul penolakan.

Di New York, misalnya, pengusaha tempat hiburan, terutama bar, pernah menolak. Mereka khawatir penjualan minuman berkurang karena aturan tersebut. Kenyataannya, tidak demikian. Awalnya, orang memang tidak peduli, tetapi dengan usaha terus-menerus, aturan perlahan diikuti. Saat ini, terdapat 21 negara bagian plus Distrik Columbia yang menerapkan aturan komprehensif kawasan dilarang merokok. Di negara bagian lainnya, ada larangan merokok dengan penetapan sejumlah kawasan tertentu.

Tingkatkan pajak

Stephen menambahkan, produk tembakau juga dikontrol dengan meningkatkan pajak tembakau. Kebijakan itu berakibat meningkatkan harga rokok sehingga setidaknya menghambat orang muda yang ingin bereksperimen.

Dengan harga yang tinggi, masyarakat berpendapatan rendah akan (dipaksa) berhenti. Pendapatan hasil pajak tembakau kemudian digunakan untuk program kontrol tembakau.

Sejauh ini, sekitar 14 negara bagian meningkatkan pajak tembakau. Pajak tembakau di Negeri Paman Sam itu meningkat selama sepuluh tahun terakhir dari 30-40 sen (sekitar Rp 3.600) per pak rokok menjadi 1,5-3,0 dollar AS (sekitar Rp 13.500-Rp 27.000 per pak.

Tahun lalu, dikeluarkan pula peraturan baru yang memberikan kewenangan kepada Badan Makanan dan Obat (FDA) untuk mengatur produk tembakau. "Pemerintah mempunyai akses dan pengaruh besar mengontrol kandungan di dalam rokok. Di samping itu, produk tembakau juga harus terdaftar dan industri harus membuka akses terhadap dokumen-dokumen mereka," kata Stephen.

Namun, para ahli kesehatan masyarakat tidak lantas bersorak bergembira. Mereka masih menunggu implementasi dari peraturan tersebut. "Pengalaman pada masa lalu, industri biasanya cenderung berupaya mencari jalan untuk menghindar," ujar Stephen.

Dia mengatakan, pendapat yang menyatakan mundurnya industri tembakau akan berdampak besar terhadap ekonomi adalah pendapat yang berlebihan. Persoalannya, biaya kesehatan yang dikeluarkan jauh lebih besar. Masyarakat yang sakit pun memperlambat laju pertumbuhan ekonomi.

(INDIRA PERMANASARI)

No comments:

Post a Comment